Jumat, 28 November 2014

LAHIRNYA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT RIS


Dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia pada tgl. 17 Agustus 1945 maka berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Peristiwa tersebut merupakan kulminasi puluhan/ratusan tahun perjuangan rakyat Indonesia yang selalu mengalami kegagalan, karena politik devide et impera-nya kolonialisme Belanda.  Ide persatuan dalam melawan kolonialisme Belanda yang didengung-dengungkan oleh para founding fathers (terutama oleh Bung Karno dalam semua tulisan-tulisannya dan pidato-pidatonya) telah memberi spirit dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Ide persatuan inilah yang menelorkan Sumpah Pemuda, Pancasila dan akhirnya Negara Republik Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan, yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Jelaslah terbentuknya negara kesatuan mempunyai korelasi yang mendasar dan murni tanpa direka-reka, bukan artifisial, sebab lahir secara alamiah dari perjuangan pembebasan nasional melawan kolonialisme Belanda.
Berdirinya Republik Indonesia sebagai akibat diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia tentu saja mendapat tentangan hebat dari kolonialisme Belanda. Memang pada umumnya di mana saja kaum kolonialis tidak dengan begitu saja menyerah terhadap lepasnya kekuasaan dan kepentingan-kepentingannya di tanah jajahannya akibat perjuangan pembebasan nasional. Dengan segala cara mereka berusaha agar seminimal mungkin kehilangannya. Begitu juga kaum kolonialis Belanda. Sebaliknya rakyat Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya tidak mungkin bersedia dijajah kembali oleh kolonialis Belanda. Maka usaha come-backnya kolonialisme Belanda telah mengakibatkan perang antara Indonesia-Belanda yang berlangsung 1945-1949. Dalam kurun periode perang tersebut, disamping melancarkan politik kekuatan-senjata, mereka juga melancarkan politik divide et impera terhadap Republik Indonesia, yang terselubung dalam ide federalisme ala Van Mook. Untuk tujuan itu selama dalam situasi perang,
Belanda membentuk negara-negara boneka di daerah-daerah yang diduduki tentara Belanda (mis. Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan dll.) sebagai persiapan untuk pembentukan RIS. Ini adalah usaha disintegrasi pertama yang dilancarkan oleh kolonialisme Belanda terhadap bangsa dan negara RI. Disintegrasi tersebut dengan mudah
dilaksanakan oleh kolonialisme Belanda, sebab Negara RI yang masih muda belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghadapinya. Konferensi Meja Bundar tahun 1949 yang terpaksa di terima oleh RI telah mengakhiri konflik bersenjata dan mengakibatkan timbulnya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Timbulnya Negara Federal RIS ini tidaklah murni keinginan rakyat Indonesia. Tapi suatu hasil 'kompromi' diplomatik antara Indonesia dan Belanda. Dikatakan kompromi sebab Kolonialisme Belanda ingin tetap kepentingan-kepentingannya di Indonesia bisa selamat, sedang Indonesia menginginkan kedaulatannya diakui secara de jure oleh dunia internasional. Tapi di samping itu kaum republiken tidak buta atas tipu muslihat Van Mook tersebut. Mereka sadar akan siasat divide et impera tsb dan tujuan-tujuan Van Mook untuk menancapkan politik neokolonialisme di Indonesia melalui boneka-bonekanya dalam RIS. Perjuangan melawan neokolonialisme inilah yang mendorong kaum patriot Indonesia di seluruh tanah air untuk menghapus Negara Federal. Akhirnya satu demi satu negara-negara bagian menggabungkan diri kepada Republik Indonesia (sebagai negara bagian yang berpusat di Jogyakarta). Dan dua negara bagian sisanya (Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur) pun akhirnya menyetujui dibentuknya Negara Kesatuan Indonesia. Demikianlah pada tgl. 17 Agustus 1950 dengan jalan konstitusional RIS berubah menjadi RI-Kesatuan. Jelaslah kompromi dalam Konferensi Meja Bundar bagi kaum patriot Indonesia bisa dikatakan hanya merupakan taktik belaka dan membuktikan bahwa seluruh bangsa Indonesia selalu teguh menghendaki adanya persatuan di dalam rangka Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian disintegrasi babak pertama, yaitu disintegrasi model Van Mook bisa digagalkan. Disamping itu, perlu dicatat bahwa dari intern Republik Indonesia sendiri pada waktu itu juga berlangsung proses disintegrasi yang tak kurang tragisnya, di mana antara kekuatan-kekuatan bersenjata (termasuk laskar-laskar rakyat) saling bermusuhan. Salah satu perwujudannya adalah timbulnya apa yang dinamakan Peristiwa Madiun 1948.
Disintegrasi bangsa babak kedua terjadi karena adanya pemberontakan-pemberontakan: RMS, DI-TII (di Jawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh) dan PRRI-Permesta. Keterlibatan kaum neo-kolonialis dalam usaha disintegrasi tersebut terbukti adanya bantuan-bantuan CIA (Amerika Serikat) antara lain kepada PRRI-Permesta, pemboman oleh Pope terhadap Ambon dan lain-lainnya. Bahaya disintegrasi tersebut dapat diatasi, meskipun berakibat ekonomi negara menjadi berantakan.

Disintegrasi bangsa babak ketiga dilakukan oleh koalisi neo-kolonilis (terutama CIA) dan anasir-anasir dalam negeri (baik militer maupun sipil) yang terbius udara anti komunisme dalam era Perang Dingin. Mereka sangat mengkhawatirkan Indonesia di bawah pemerintahan Sukarno, yang mengibarkan panji-panji NASAKOM (nasionalis, agama dan komunis) sebagai semboyan
persatuan kekuatan-kekuatan riil politik di Indonesia saat itu untuk perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur, terjerumus dalam Blok Komunis. Apalagi Sukarno di negara AAA (Asia-Afrika dan Amerika Latin) mendapat nama harum dan sangat disegani, karena politik-luarnegerinya yang mendukung gerakan pembebasan nasional, anti kolonialisme dan imperialisme. Spesifik usaha disintegrasi terakhir ini ditujukan tidak untuk memecah belah Indonesia secara teritorial, tetapi menghancurkan kekuatan-kekuatan yang dianggap menguntungkan Blok Komunisme dalam perang dingin tersebut. Maka untuk itu pemerintahan Sukarno bersama-sama dengan semua kekuatan pendukungnya harus dihancurkankan. Peristiwa G30S yang kontraversial merupakan momentum krusial sebagai pembuka-pintu realisasi usaha-usaha disintegrasi tersebut. Terbunuhnya jendral A.Yani dkk. di Lubang Buaya (yang sesungguhnya hanya dijadikan tumbal saja oleh koalisi neokolonialis dan anasir anti Sukarno tersebut), oleh mereka dijadikanlah dalih pengabsyahan pembunuhan terhadap lebih satu juta anak bangsa Indonesia. Inilah disintegrasi riil yang sangat biadab terhadap kesatuan bangsa Indonesia, yang dibablaskan ke arah genocide terhadap golongan kiri. Maka benarlah apa yang diucapkan Bung Karno dalam Pidato 'Pelengkap Nawaksara'nya di depan sidang MPRS (1967) a.l. tentang keterlibatan subversi Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme, sebagai faktor eksternal) dan adanya oknum-oknum yang tidak benar (militer dan sipil yang berobsesi menjatuhkan Sukarno yang dianggap pro-komunis, sebagai faktor internal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar